Cerpen Senja Hari Ini
Oleh
Riza Annisa Aulia
Desahan
angin melewati celah jendela yang terbuka
menerpa diriku yang berbalut kain putih, pepohonan tepi rumahku menari
kedinginan karena ulah sang angin.. Senja hari ini tak seindah senja kemarin,
walaupun hamparan langit terlukis sang mega yang mempesona. Terlihat juga
merpati-merpeti putih pulang ke peraduannya, bergegas menemui anak-beranaknya
yang di tinggal untuk mencari makan. Kuasa-Nya indah dipandang, namun sakit
untuk dirasakan hingga saat yang pasti itu menghampiriku untuk memisahkan tali
kasih kami. Apa dayaku mengehentikan kuasa-Nya?, aku hanyalah makhluk yang selalu
mengharap belas kasih-Nya.
Terduduk diriku dalam ranjang tempat
kasihku beradu pilu kehidupan, tempat curahan dalam melepas penat. Setelah
sekian waktu aku memandangi senja sore ini,aku membuka ingatan masa-masaku
dengan kasihku yang saat ini masih lekat rautan halus wajahnya.
*****
Ayahku telah tiada sejak umurku tiga
tahun, bahkan aku belum pernah melihatnya walaupun dalam sebuah foto. Kata
ibuku ayah adalah orang yang kuat dan bertanggung jawab, wajahnya mirip sekali
denganku kulitnya hitam manis dengan rahang yang tegas. Ayahku meninggal karena
sakit keras yang dideritanya. Sejak saat itu ibu bekerja keras untuk membiayai
hidup kami dengan bekerja sebagai penjual kue.
“nak... jangan nakal... Ini hari
pertamamu masuk sekolah jadi ingat pesan ibu !” ibu mencium keningku tepat di
depan kelas. Waktu itu hari pertama aku masuk ke Sekolah Dasar. Ibu melepaskan
ciumannya dan meninggalkanku
“ibuuuu....”
aku berlari dan langsung memeluknya dari belakang.
“kanapa
nak ??” jongkok menyetarakan dengan tinggi tubuhku, saat itu tubuhku masih sepinggang
ibu.
“fatih
takut bu... nanti kalau ada yang jailin Fatih gimana bu?” sambil mengerutkan
keningnya.
“kenapa
harus takut?? Kan masih ada Allah dan ibu didekat kamu nak... ibu akan nungguin
Fatih di depan kelas, sampai pulang sekolah” sambil membelai rambutku yang
masih basah.
Sejak
saat itu aku percaya hidupku tidak akan sendiri karena akan selalu ada Allah
dan ibuku disampingku, menemani segala keluh kesahku dan tempat merebahkan
segala aduanku.
“ibu... aku malu kalau tiap hari
harus membawa kue ke sekolah” sambil meletakkan tempat kue ke atas meja makan.
“malu kenapa nak?” mendekati Fatih
yang sedang duduk di ruang TV.
“gimana gag malu bu... kalau mereka
menertawan Fatih tiap hari” sambil memanyunkan bibirnya. “bahkan teman-temanku
menjauhi Fatih bu... karena pekerjaan ibu yang cuman jadi penjual kue” pergi
menuju kamarnya.
“ya sudah nak... mulai besok Fatih
gag usah bawa kue ke sekolah ya... Biar ibu saja yang ke sekolah” sambil
membereskan buku-bukuku di ruang TV.
Aku merasa senang ketika ibu
mengatakan hal itu. Saat aku mengintip ibu dibalik gordyn, aku melihatnya
terisak tangis namun tak terdengar suara
tangisannya. DEGG...!! kenapa ibu menangis, apakah karena perkataanku tadi ??ibu
tidak pernah memperlihatkan kesedihannya kepadaku, selalu saja ibu pendam
sendiri. Mungkin ibu tidak ingin melihatku bersedih.
“fatihhhh” teriak temanku, untuk
pergi kesekolah. Aku sudah masuk SMP
namun sekarang aku tidak membawa kue karena ibu tidak menyuruhku sejak aku
mengatakan malu untuk membawanya.
“hati-hati ya nak... belajar yang
rajin” sambil mencium keningku. Waktu itu tinggiku sudah sama dengan tinggi
ibu.
“ibu... sekarang Fatih bukan anak
kecil lagi yang harus di cium ibu.... Tuhh teman-temanku pada ketawa” sambil
meninggalkan ibunya yang sedang menyapu depan rumah.
“maaf nak...” sambil menundukkan
kepalanya karena merasa bersalah.
Ciuman terakhirnya, masih membekas
sampai saat ini. Semenjak itu ibu tidak pernah mencium keningku, mungkin takut
kalau aku ditertawakan teman-temanku. Bukan itu maksudku bu... bukan ciuman
terakhir yang aku inginkan, tapi entahlah apa yang sedang aku rasakan pada
waktu itu.
Empat tahun kemudian aku masuk di
sebuah universitas karena aku mendapatkan beasiswa dari sekolahku. Aku mencintai
seorang gadis dia pun juga mencintaiku, bukan hanya cantik namun hatinya baik
dan menurutku dia adalah gadis yang sempurna. Suatu hari aku mengajaknya ke
rumah untuk aku kenalkan dengan ibu.
“ibu... ini Tania emmm.... calon
Fatih bu” sambil memegang pundak ibunya, waktu itu ibu setinggi dadaku.
“cantik sekali nak kamu...” membelai
kepalanya yang dibalut kerudung biru.
“iya bu... makasih” sambil mencium
punggung tangannya.
Ibu pergi untuk menyiapkan minuman
ketika menyuguhkan minuman, ibu tersandung meja dan gelas-gelas itu tumpah di
rok Tania. “maaf nak” sambil mengelap rok Tania
yang basah kuyup
“ibu...
kenapa bisa tumpah ? ibu itu gimana sihh ? emang gag bisa lihat kalau mejanya
ada disitu” dengan wajah geramnya aku memarahi ibu dengan nada yang tinggi.
“tania kamu gag papa ?” sambil memegang pundaknya.
“harusnya
mas Fatih itu menanyakan keadaan ibu bukan keadaanku tapi malah memarahi ibu
yang terjatuh” sambil menghempaskan tanganku dari pundaknya. “apakah ibu gag
papa ?” tanyanya lembut sambil membantunya berdiri. “selama ini aku menilai mas
Fatih salah, lelaki yang akan menjadi imam dan pelindung bagi anak-anakku kelak
ternyata terhadap ibunya sendiri berkata kasar.” pergi meninggalkanku dengan
muka kesalnya.
Aku
hancur mendengar perkataanya “ibu sudah puas ? gadis yang selama ini aku cintai
meninggalkanku karena ulah ibu” aku mengatakannya dengan pelan.
“maafkan
ibu nak... ibu gag sengaja” terisak tangis.
Untuk
pertama kali ibu menangis di depanku setelah sekian lama ibu menangis di
belakangku. Aku sangat kasihan melihat ibu menangis seperti itu, ingin rasanya
aku memeluknya seperti saat aku memeluknya ketika hari pertamaku sekolah. Niat
itu aku urungkan dan bergegas pergi menuju kamarku untuk tidur karena hari
sudah larut malam.
Esok
hari aku tidak bertemu ibu, bahkan sampai siang, aku khawatir jika terjadi
apa-apa. Aku beranikan untuk membuka pintu kamarnya ternyata dia sedang
bersujud, aku memandanginya tanpa aku sadari air mataku jatuh aku merasa
bersalah dan akan minta maaf setelah ibu selesai shalat. Aku terheran kenapa ibu
takkunjung bangun dari sujudnya kemudian aku masuk dan ibu terjatuh dari
sujudnya. Ibuuuuuuu teriakku. Aku langsung memeluknya erat tanpa melepaskan
sedetikpun.
*****
“mas...” suara itu mendekatiku.
“tania” aku hanya memandangnya dan kami
duduk terdiam di ranjang kasihku.
“ibu mas... setelah kejadian itu ibu
mengejarku, meminta maaf untuk bisa kembali ke mas Fatih. Ibu memohon-mohon
sambil memeluk lututku dan berkata hanya mas Fatih yang ibu punya, ibu rela
melakukan hal apapun walaupun itu membahayakan ataupun membuatnya malu, bahkan
ibu rela tidak bertemu mas Fatih jika itu membuatmu bahagia. Ibu tau kalau mas
Fatih malu memiliki ibu yang tua bahkan miskin.” Sambil mengeluarkan air mata
dan menundukkan pandangannya.
Hanya air mata yang aku keluarkan dan
rasa penyesalan karena seumur hidupku aku tidak pernah menikmati masa-masa
kebersamaanku bersama ibu. Ibu yang harusnya aku cintai dan lindungi. “sekarang
kamu bisa tinggalin aku, karena kamu sudah tahu segala sifat burukku” sambil
menatap senja yang masih mempesona.
“tidak mas, aku akan tetap bersamamu.
Sampai maut memisahkan kita, aku tahu sebenarnya mas Fatih memiliki hati yang
baik karena keadaan saja mas menjadi seperti ini”
Memang senja hari ini tak seindah
senja kemarin, namun senja hari ini mengajarkan aku untuk menghargai seorang
wanita.
Komentar
Posting Komentar