Kritik Novel Burung-burung Manyar.
Kritik
Novel Burung-burung Manyar.
PBSI UNTIDAR
Dalam
novelnya yang berjudul Burung-Burung Manyar, pengarang menceritakan berbagai
macam kisah antara lain kisah penjajahan dan percintaan, yang mana dalam kisah percintaan
terdapat cinta antar manusia dan cinta terhadap suatu negara. Tokoh yang paling
menonjol atau yang menjadi tokoh sentral pada novel Burung-Burung Manyar adalah
Teto. Teto merupakan anak dari Letnan Barjabasuki yang merupakan seorang Letnan
tamatan Akademi Militer Breda di Belanda dan ayahnya merupakan keturunan
keraton sedangkan ibunya keturunan Indo-Belanda.
Dalam
novelnya, pengarang lebih menekankan bagaimana keadaan waktu penjajahan dimana
tokoh Teto menghadapi berbagi masalah rumit yang menghinggapi dirinya, terutama
yang menyangkut keluarganya. Keluarganya yang merupakan salah satu pasukan KNIL
Belanda menjadi incaran pasukan Jepang yang juga sama-sama ingin menguasai
negara Indonesia. Masalah yang menimpa keluarganya dapat dilihat pada kutipan
dibawah ini:
“Mami
menangis melihatku. Dadaku mulai sesak. Apa betul Papi tertangkap? Ibu Antana,
nyonya rumah menghiburnya dengan kata-kata lembut. Dan dari kata-kata itu aku
sudah dapat menarik kesimpulan, bahwa harapan berjumpa kembali dengan Papi sudah
hampa. Ternyata betul. Papi masuk perangkap” (YB. Mangunwijaya, 1981:39)
Novel
Burung-Burung Manyar dikemas oleh pengarang secara serius namun juga diselingi
dengan cerita-cerita yang santai. Cerita santai yang dituliskan oleh pengarang
menekankan pada kisah percintaan yang dialami oleh Tokoh Teto dan Tokoh Rara
Larasati atau sering di panggil Ati. Mereka merupakan teman dari kecil dan
kedua keluarga mereka juga sangat dekat satu sama lain. Hingga suatu saat
mereka sudah dewasa, rasa cinta yang mereka pendam masih ada. Dari kisah
percintaan yang ada, masalah yang lebih menonjol adalah kisah penjajahan.
Melalui tokoh Teto, pengarang ingin menceritakan bagaimana kekejaman pada masa
penjajahan dahulu. Walaupun tokoh Teto merupakan bagian dari pasukan Belanda,
namun ia juga memiliki keturunan Indonesia. Kekejaman tidak hanya dirasakan
oleh bangsa pribumi, tetapi juga dirasakan oleh pasukan-pasukan Belanda
terutama para petinggi-petingginya, hal tersebut disebabkan oleh pasukan Jepang
yang ingin mengusir pasukan Belanda dari Indonesia dan secara leluasa akan
menguasai Indonesia. Tekanan mental dan batin dihadapi oleh tokoh Teto, hal
tersebut dikarenakan ayahnya yang merupaka petinggi salah satu pasukan Belanda
menjadi incaran pasukan Jepang, hingga ayahnya ditangkap dan di penjarakan.
Tokoh Teto semakin semakin hancur hatinya ketika ibunya rela menjadi wanita
penghibur bagi pimpinan tentara Jepang untuk menyelamatkan nyawa suaminya. Hal
tersebutlah yang membuat Tito merasa benci dan dendam terhadap tentara Jepang.
Melalui
peristiwa tersebut, pengarang merasakan bagaimana tekanan batin yang dirasakan
oleh diri seeorang anak melihat kedua orang tuannya ditindas oleh orang lain.
Bagaimana tidak dendam jika melihat orang yang disayangi dipermainkan bahkan
rela memberikan kesuciannya kepada orang-orang yang sangat dibenci. Pengarang
juga ingin menyampaikan, bahwa menjadi orang kalangan atas itu tidak selalu
dalam kemakmuran namun semakin banyak halangan dan musuh yang akan terus
mencoba mengganggu. Tindakan sewenang-wenang yang dilakukan tentara Jepang
terhadap tentara Belanda terutama keluarganya membuat Teto semakin murka dan
akhirnya setelah menempuh pendidikan di luar negeri ia kembali ke Indonesia.
Ternyata setelah tiga tahun pasukan Jepang pergi dari Indonesia dan pasukan
Belanda KNIL datang kembali ke Indonesia dengan dukungan tentara sekutu. Hal
tersebut menjadikan Teto gembira dan ia menjadi tentara KNIL dan langsung naik
pangakat menjadi Letnan dua dalam dua bulan hasil dari kerja keras dan
kedisiplinannya dalam melaksanakan tugas. Setelah menjadi tentara KNIL Belanda,
Teto mendapatkan kabar yang kurang baik, yaitu ibunya masuk ke rumah sakit jiwa
akibat tekanan batin yang ia dapatkan dan nasib ayahnya yang tak pernah ia
ketahui, namun tersiar kabar bahwa ayahnya telah bergabung menjadi tentara
Republik. Secara otomatis hal tersebut menjadikan ayahnya sebagai buronannya
sendiri. Namun kekuasaan Teto yang menjadi
Letnan dua tak bertahan lama setelah perlawanan rakyat Indonesia yang
terus menerus dan membuat pasukan jepang mundur lalu kembali ke negara mereka
termasuk Tito.
Dari
peristiwa tersebut, pengarang menceritakan kebimbangan yang dirasakan akibat
orang yang ia jadikan panutan telah berubah menjadi musuh, hal tersebut memukul
jiwanya yang merasa di khianati. Selain itu orang yang ia cintai si Larasati
juga membela negara yang sedang ia jajah. Untuk melupakan Ati ia akhirnya
menikah dengan wanita luar negeri yaitu barbara, namun ia tidak merasa bahagia
dengan pernikahannya dan memiliki keinginan untuk kembali ke tanah air, ia
merasa rindu terhadap orang-orang yang ia cintai dan akhirnya ia bercerai dan
kembali ke Indonesia. Setelah kembali ia ingin bertemu dengan Larasati yang
dalam hatinya merupakan seseorang yang benar-benar ia cintai. Melalui hal
tersebut pengarang merasa bahwa perasaan dan rasa sayang tidak dapat dibohongi
dan memang harus diungkapkan. Namun hal tersebut terlambat dikarenakan Larasati
telah memilki suami dan beranak tiga. Dengan hal tersebut membuat fikiran serta
hati Tito menjadi hancur. Bagaimana tidak, perasaan yang dipendam begitu lama
telah sirna dan seperti tiada artinya. hal tersebut menimbulkan lamunan yang
dirasakan Teto.
Kutipan berikut
melukiskan mujud penyesuaian diri tokoh Teto untuk menenangkan gejolak frustasi
dalam dirinya dengan melamun:
“
Beberapa kursi kulihat telah hilang.
Barangkali diambil pencuri? Tetapi rupa-rupanya mereka tidak berhasil atau
keburu waktu mendobrak pintu-pintu kuna yang amat kuat itu. Ada alasan baru aku
mendatangi rumah ini, begitu pikirku gembira. Demi keamanan milik keluarga “.
(YB. Mangunwijaya, 1981:88)
Kutipan
tersebut melukiskan lamunan Teto ketika berkunjung kerumah keluarga Larasati di
Cemorojajar yang telah lama ditinggalkan pemiliknya. Teto sengaja mengunjungi
rumah tersebut karena ketika ia berada di rumah tersebut, ia merasa menemukan
“biara baru”. Dengan memandangi ruangan dan perabotan rumah seperti ruang
makan, ruang tamu, dan selurus isi ruangan yang sudah berantakan. Teto pernah
tinggal bersama Atik dirumah tersebut ketika datangnya tentara Jepang sehingga
semua harta yang dimiliki keluarga Teto disita oleh Jepang.
Pengarang
juga menunjukkan bagaimana tokoh Teto berusaha menyesuaikan diri akibat
frustasi yang ia alami, berikut kutipan yang menunjukkan hal tersebut:
“
Ya, memang hati duda sangat sering merasa sepi sunyi sendirian. Tetapi
untunglah Tuhan Yang Maha Pemurah masih sudi memberi kesejukan bagi siang dan
petang kurun hidupku, atas persetujuan keluarga dan atas permintaan Jana,
(tidak lama sesudah peristiwa Kolombo beliau pulang ke Rahmatullah), ketiga
anak Atik kuangkat jadi anakku. Hadiah yang terindah dari Atik dan suaminya
ingin kujaga dan kuantar ke hari depan mereka yang sesuai dengan jati diri dan
bahsa citra yang sebening mungkin.” (YB. Mangunwijaya, 1981: 319)
Kutipan
tersebut menggambarkan penyesuaian diri tokoh utama Teto yang gagal memiliki
Larasati. Setelah kematian Larasati dan suaminya ketika perjalanan umrah
akhirnya Teto merawat anak-anak Larasati, ia merasakan mencintai Larasati lagi.
Karena cinta yang begitu dalam terhadap adik akhirnya ia curahkan menjadi cinta
yang tulus seperti seorang ayah kepada anak-anaknya.
Itulah
ekspresi yang ditunjukkan oleh YB. Mangunwijaya dalam novel Burung-Burung
Manyar, sebuah luapan emosional yang ada dalam dirinya tentang penderitaan dan
siksaan batin yang disebabkan berbagi masalah mulai dari penjajahan hingga
percintaan. Disisi lain Burung-Burung Manyar mampu membongkar berbagai praktek
jahat atau akal bulus yang dilakukan orang asing terhadap orang-orang
Indonesia.
Komentar
Posting Komentar