Cerpen Bukit Sigaluh
BUKIT
SIGALUH
Karya : Maulida Mar’atu Dian Rizqi
Adzan
Subuh berkumandang di langgar dekat rumah. Kokok ayam bersahut-sahutan menambah semarak
di pagi hari. Ajik bergegas mengambil sarung dan peci yang tergantung
dibale-bale bambu rumahnya. Meski udara dingin menusuk hingga tulang, tak
menyurutkan niat Ajik untuk tetap sholat berjamaah di langgar. Ibunya yang
sedang memasak menyiapkan sarapan mengintip di balik pintu, dari dua sudut mata
mengalir air bening yang segera diusapnya. Ajik menghampiri ibunya .
“Bu, habis nangis?”
“Ora, kok le, ibu bangga punya anak seperti kamu,
rajin, nurut, dan nggak pernah neko-neko”(sambil mengelus-elus kepala Ajik)
“Maaafin Ajik nggih bu, kalo Ajik masih sering
nakal”
“Kamu nggak pernah nakal kok le, sudah sana ndang berangkat
nanti telat sholat jamaahnya..”
“Nggih bu, Assalamualaikum”(salim mencium tangan
ibu)
“Waalaikumsalam”
Sinar
matahari sudah menerobos dinding
bambu rumah Ajik, menandakan pagi akan berganti siang. Sarapan
favoritnya disantap dengan lahap. Dari luar rumah terdengar teman-temannya
sudah memanggil.
“Aaajik, Aajik..”
“Sebentar..”
Ajik
segera menuju dapur untuk berpamitan dengan
ibunya. Ajik keluar rumah menemui
teman-temannya. Tampak tiga teman karibnya sudah berjejer duduk di teras rumah.
Sejak kelas satu mereka selalu bersama hingga kini sudah kelas empat. Sekolah mereka juga sama
yaitu SDN Pelita Harapan.
“Tumben kalian pagi-pagi gini sudah sampai rumahku ”
“Iya tuh si Wahid ngajakin berangkat pagi, katanya
mau bahas rencana kita ke bukit Sigaluh”
“Iya Jik, mending kita nanti aja ke Bukit Sigaluh,
mumpung pulang awal, gimana kalian mau kan?”
“Okelah, kalau begitu nanti pulang dulu kerumah
ganti baju, jangan lupa bawa bekal dari
rumah”
“Oke bos”
Ruang
kelas empat yang semula tenang dan hening berubah menjadi gaduh, setelah Bu
Nining wali kelas empat menyampaikan berita bahwa hari ini pulang awal, karena
ada rapat guru-guru di kabupaten. Setelah di tutup dengan doa bersama murid-murid dipersilakan pulang.
Ajik, Wahid, Samsul, dan Ari langsung bergegas keluar kelas dan menyusuri jalan
setapak menuju rumah mereka. Di tengah perjalanan pulang Wahid kembali
mengingatkan teman-temannya.
“Nanti kumpul dulu dirumah Ajik”
Ajik. Ari, dan Samsul mengangguk tanda setuju.
Ajik menunggu
teman-temannya di teras rumah sambil mengerjakan PR. Tak lama muncul
teman-temannya dan langsung menghampiri Ajik.
“Ayo, berangkat Jik”
Ajik segera menutup bukunya dan beranjak dari tempat
duduknya.
“Ayo, udah pada bawa minum?”
“Udah dong..”
Musim
kemarau sudah hampir 6 bulan, tetapi belum ada tanda-tanda datangnya hujan.
Desa Lawean tampak kering kerontang hanya batu dan kerikil yang berserakan. Tidak ada tumbuhan yang
berdaun hijau. Semuanya hanya tinggal batang dan ranting yang mencuat. Sawah
dan ladang dibiarkan tanpa ditanami, membiarkan tanahnya merekah. Belum ada
separo perjalanan Ajik dan kawan-kawan sudah mandi keringat. Mereka berhenti di
sebuah pohon, untuk sejenak beristirahat dan membuka perbekalan mereka. Ari
mengeluh kakinya berdarah.
“Aduh, perih nih kena batu”
Samsul segera melihat
luka Ari, dibersihkan lukanya dan menawarkan sandal untuk dipakainya.
“Makanya kalau pergi kemana-mana pakai sandal”
“Sandalnya putus tadi pagi, belum di belikan lagi
sama emak”
Tiba-tiba Wahid
bergumam sendiri.
“Andai, dulu pohon-pohon di bukit ini tidak
ditebangi, pasti tidak seperti ini jadinya ”
Ajik menyahut
“Iya Hid, dulu empat tahun lalu kita bisa menikmati
buah-buahan sepuasnya, ada manggis, srikaya, dan mangga. Tapi sekarang semuanya
sudah tidak ada. Gara-gara warga tidak mau menanam lagi setelah menebangnya.
Tidak ada lagi burung-burung berterbangan kesana kemari”
“Tapi yang aku takutkan kalau nanti datang hujan,
bisa banjir desa kita ”
Ari dan Samsul berdiri mengajak Wahid dan Ajik
untuk meneruskan perjalanan.
“Ayo, nanti keburu sore”
Sesampainya
dipuncak bukit Sigaluh, sangat memprihatinkan sudah tidak ada kehidupan sama
sekali. Hanya tanah lapang dan bongkahan batu. Ajik segera mengambil peralatan untuk
mengambil tanah liat. Dicangkulnya perlahan lalu dimasukkan kedalam plastik
yang sudah disiapkan. Dirasa sudah cukup, tanah liat itu dimasukkkan dalam tas.
Mereka segera menuruni bukit dengan berlari melihat langit yang semula
cerah berubah menjadi gelap pekat.
Mereka kembali lagi ke
rumah Ajik. Mereka langsung menyelonjorkan kaki yang pegal-pegal. Ibu Ajik
keluar membawakan air minum dan camilan.
“Kalian habis dari mana kok sampai keringetan
seperti ini”
“Dari bukit, Buk”
“Panas-panas kok main dibukit”
“Nggak main kok buk, nyari tanah liat buat tugas
prakarya ”
“Ya udah kalian istirahat, ibuk mau kebelakang
dulu,”
“Nggih buk”
Mereka
berebutan mengambil pisang goreng bikinan ibu Ajik. Tak lama kemudian
rintik-rintik hujan mulai turun. Bau tanah menyeruak mengalahkan bau pisang
goreng. Teman-teman Ajik segera berpamitan untuk pulang karena hujan, takut
kalau orang tua mereka khawatir. Lama-kelamaan hujan semakin deras. Hampir dua
jam hujan tak kunjung reda. Malah semakin deras. Ajik yang masih di teras
melihat air di halaman menggenang dan semakin meninggi. Semula yang hanya
mencapai dua tangga sekarang sudah berada ditangga ketiga. Ajik segera masuk
rumah dan memberitahukan kepada ibunya apa yang terjadi di luar. Mendengar
cerita dari anaknya, Ibu ajik segera keluar rumah.
“Astaghfirullahaladzim,
wah ini mau banjir”
Baru
saja keluar rumah ada petir yang menyambar pohon kelapa dan tumbang menimpa
kabel listrik dan seketika desa Lawean gelap gulita karena mati listrik. Ibu
Ajik sebagai kepala desa segera bertindak untuk melindungi warganya dari
bencana banjir. Dengan sigap mengambil payung, Bu Salamah segera melihat
kondisi warganya. Ajik melihat ibunya keluar rumah disaat hujan deras mengikuti
dari belakang. Ajik berpikir keras bagaimana menolong ibu dan warga. Dia segera
menuju rumah teman-temannya dan mengajaknya membantu warga. Dengan terendam air
setengah badan, tapi tak menyurutkan empat sekawan membantu warga yang
kesusahan. Sambil membantu warga mengamankan hewan ternak dan harta benda, Ajik
menuju rumah Pak Joyo untuk meminjam telepon. Sesampainya dirumah Pak Joyo, Ajik segera mengutarakan tujuannya.
“Pak, saya minta tolong, kita butuh bantuan dari
pihak luar”
Pak Joyo yang sedang sibuk mengamankan harta
bendanya ke lantai dua menjawab.
“Bentar to le, ini saya lagi sibuk
“Tapi Pak, kita butuh bantuan”
“Iyo, iyo, nek wis rampung yo”
“Nggih Pak ”
Hari semakin gelap
Ajik meninggalkan rumah Pak Joyo. Dia kembali menemui teman-temannya
yang sedang membantu para warga.
“Dari mana kamu Jik?”
“Rumah Pak Joyo pinjem telepon”
Temannya hanya mengangguk-angguk. Dari belakang
muncul Ibu Ajik bersama beberapa warga.
“Ajik, bawa mereka kerumah, rumah mereka tidak bisa
di tinggali untuk sementara ini”
“Nggih Bu.”
Ajik menjalankan perintah ibunya. Di tengah
perjalanan dia melihat Pak Jono sedang kesulitan menghalau ternak-ternaknya ke
kandang yang lebih tinggi. Dengan sigap Ajik membantu Pak Jono memindahkan ayam
dan mentok.
“Terima kasih Jik”
“Nggih Pak..”
Malam
semakin larut hujan mulai reda, rumah Ajik dijadikan posko darurat. Pukul 12
malam bantuan dari kecamatan baru tiba yaitu satu kompi tentara dan bantuan
medis. Tentara membantu warga yang rumahnya roboh, dan tenaga medis mengecek
kesehatan para warga. Warga yang semula panik, kini berangsur tenang.
Pagi
di desa Lawean tampak berbeda dengan
pagi-pagi sebelumnya. Jalan yang semula
berdebu kini menjadi berlumpur. Selokan-selokan penuh dengan sampah. Melihat
kondisi desanya yang memprihatinan Bu Salamah membagi tugas warganya, untuk
kaum laki-laki bekerja bakti membersihkan desa, dan kaum perempuan memasak
untuk semua warga. Namun, belum selesai memberikan instruksi untuk warganya,
dari arah berlawanan tampak seorang warganya yaitu Pak Joko tergopoh-gopoh
sambil mengendong anaknya yang tekulai lemas.
“Eko kenapa Pak?
“Ndak tahu Bu, ini dari tadi pagi kok
muntah sama berak terus, akhirnya malah pingsan”
“Ya udah bawa kerumah saya, biar nanti
segera ditangani dokter”
Bu Salamah
mengikuti Pak Joko dari belakang. Sesampainya di rumah sekaligus posko darurat,
Bu Salamah segera memanggil dokter yang berjaga.
“Pak Mantri..”
Dokter yang sedang mengecek kesehatan
warga segera menghampiri Bu Salamah.
“Ada apa bu?
“Ini Eko anaknya Pak Joko kenapa habis
muntah sama berak terus, langsung pingsan”
“Pak, bawa sini,
saya lihat kondisinya”
Pak Joko merebahkan Eko di ranjang yang sudah
disediakan.
Selang beberapa menit, dokter memberikan obat
“Pak, anak bapak beruntung, bapak segera membawa
kesini, dehidrasi parah sehingga pingsan
”
“Deradasi itu apa pak?”
“Hahaha.. bukan deradasi pak, tapi dehidrasi.
Dehidrasi itu kekurangan cairan dalam tubuh pak, yaudah ini obatnya, dan
biarkan disini dulu biar kami rawat”
“Owalah iya pak”
Ajik
mendengar percakapan antara Pak dokter dengan Pak Joko. Berdasarkan pengetahuannya,
Eko terjangkit penyakit kolera, salah satu penyakit yang disebabkan oleh
lingkungan yang kurang bersih dan biasanya disebarkan oleh lalat. Penyakit
kolera adalah penyakit yang menular,
apabila tidak segera ditangani dengan baik. Tanpa babibu Ajik segera mengambil alat
bersih-bersih seperti, cangkul, sabit, sapu, dan serokan. Dia mengajak
teman-temannya untuk membantu membersikan selokan-selokan, karena lalat akan
berkembang biak dengan baik di tempat lembab seperti selokan yang penuh dengan
sampah. Seharian mereka bekerja membersihkan selokan. Hanya sesekali pulang
sebentar untuk sekadar istirahat dan minum. Dari jauh ibunya menyaksikan
kagiatan yang dilakukan Ajik dan teman-temannya.
Berita tentang bencana
banjir terdengar oleh pemerintah setempat. Bupati dan para staffnya segera menengok
keadaan desa Lawean. Selain memberikan bantuan berupa air bersih, bantuan
logistik, juga memberikan bantuan 1000 bibit pohon buah untuk ditanam di bukit
Sigaluh dan sekitarnya. Bupati juga memuji Desa Lawean karena desanya sudah
bersih kembali walaupun barusaja terkena bencana banjir. Desa Lawean mendapat
penghargaan langsung dari bupati menjadi desa tanggap bencana. Dalam
sambutannya Bu Salamah mengucapkan terima kasih yang sebesar besarnya kepada
pemerintah setempat yang telah memberikan bantuan bahkan penghargaan. Dan di
akhir sambutan Bu Salamah mengucapkan terima kasih yang tak terhingga kepada
anak-anak Desa Lawean yang sudah membantu para warga membersihkan desa. Ajik
dan teman-temannya hanya tersenyum-senyum. Mereka berharap desanya tidak lagi
terkena bencana banjir lagi.
Komentar
Posting Komentar